Selasa, 15 November 2011

Gorengan Dan Medali

Akhir – akhir ini memang terasa spesial buat sebagian atau mungkin seluruh rakyat Indonesia yang sedang menyaksikan kemenangan sebagian besar para atlet kebanggaan bangsa dalam semangatnya membawa Indonesia meraih peringkat pertama perolehan sementara dalam ajang SEA GAMES tahun ini yang diadakan di negeri sendiri. Mungkin inilah bentuk patriotisme dan sebuah tindakan heroik dari para atlet pujaan bangsa, dimana mereka dengan rasa bangga dan tidak kenal lelah untuk memenangkan setiap pertandingan. Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita masyarakat biasa juga bisa memberi makna atau melakukkan hal yang berguna untuk bangsa? Ya!! Kita juga bisa, seperti apa yang dilakukan oleh seseorang untuk orang yang lainnya seperti cerita berikut ini…..


Sarsono, ketua RT di lingkungan Gue yang biasa dipanggil “Pakde” ini sebenarnya adalah mantan atlet pada era 80’an dulu yang sudah menyumbangkan emas untuk Indonesia pada olimpiade dalam cabang renang. Namun sekarang sepertinya Ia sudah dilupakan banyak orang atas prestasinya selama masa kejayaannya dulu, dan kini Ia adalah hanya menjabat sebagai seorang ketua RT di lingkungan tempat Gue tinggal, dan bekerja sebagai buruh serabutan setiap harinya. Namun semangatnya masih sangat hebat walau usianya sudah terbilang cukup senja.

Dan Gue teringat pada saat peringatan 17’an dulu. Seperti kebanyakan masyarakat pada umumnya, lingkungan tempat Gue tinggal pun juga turut memperingati hari kelahiran bangsa Indonesia yang ke-63 pada tahun 2008 lalu. Berbagai macam perlombaan dimulai dari pagi hingga petang. Lalu dilanjutkan dengan malam puncak yang diadakan malam minggu, tepat tiga hari setelah lomba. Namun dikarenakan hadiah – hadiah dari perlombaan tersebut belum ada, maka keesokan hari setelah lomba Gue bersama Pakde pergi untuk membeli hadiah – hadiah tersebut yang uang untuk pembeliannya kami dapatkan dari kolektif atau patungan masyarakat dibantu donator.

Pagi – pagi sekali Gue bersama Pakde berangkat menuju pasar jatinegara, Kami memang berniat membeli hadiah perlombaan disana. Setelah menjelang siang akhirnya semua hadiah sudah terbeli, dan kami pun mampir untuk makan siang. Karena Gue merasa gue yang berangkat, maka timbul pemikiran Gue untuk membayar makan siang tersebut dengan uang yang didapat dari sisa pembelian hadiah. Namun Pakde menolak,,

“Apa yang sudah kita jalankan semua harus dijalani dengan ikhlas, kalau memang kita diamanatkan memakai uang itu untuk membeli hadiah, ya jangan dipakai buat yang lain, kecuali memang sudah ada izin dari masyarakat Kita”

Begitulah jawaban penolakan dari Pakde, tentunya Gue jengkel juga, karena Gue masih merasa berhak buat memakai uang tersebut. Tapi Gue terima juga alasan dari Pakde dan akhirnya bayar pake uang Gue sendiri. “nasib, udah panas – panasan eh malah pake dana sendiri juga”, Batin Gue yang setengah nerima setengah enggak.

Setelah keluar dari warteg tempat Gue sama Pakde makan, tepat diluar warteg terdapat seorang anak kecil yang menjual gorengan, dengan baju yang lusuh dan muka yang pucat, anak itu duduk tepat didepan gue dan menawari gorengan yang Ia jual. Pakde menghampiri bocah tersebut dan menanyakan harga gorengan yang Dia jual.

“Berapa de?” Tanya Pakde.

“Lima ratus satunya pak” Jawab bocah itu.

Lalu Pakde mengeluarkan uang sepuluh ribuan dan memberikannya kepada bocah itu.

“Nih saya beli sepuluh ribu” Kata Pakde.

Seketika Gue terkejut sekaligus heran.

“Pakde, belinya banyak amat, kita kan udah makan??” Tanya Gue kepada Pakde.

“Udah makan aja, kalo udah kenyang ya jangan dimakan” Jawab Pakde kalem.

Lalu Gue mengambil sepotong bakwan, Pakde mengikuti dengan mengambil tempe. Berhubung Gue benar – benar sudah kenyang, jadi Gue ga mengambil lagi gorengannya.

“Udahan makannya? Kok Cuma ambil satu??” Tanya Pakde sama Gue.

“Udah pakde, kenyang” Jawab Gue.

“Oke kalo gitu kita jalan lagi pulang kerumah” Ajak Pakde yang juga tidak mengambil gorengan kembali.

Pakde akhirnya mengajak Gue untuk pulang, dan Gue sadar betul kalo Pakde beli gorengan sepuluh ribu dan hanya mengambil dua, Gue satu dan Dia satu. Dan dari situ Gue menyadari kalau Pakde sebenarnya ingin beramal tanpa merendahkan orang lain. Pelajaran yang benar – benar berharga yang Gue dapatkan pada hari itu.

Keesokan harinya setelah Gue dan Pakde membeli hadiah untuk para pemenang lomba 17’an di kampung Gue, Gue kerumah Pakde untuk memberikan transparasi dana sisa dari pembelian kemarin. Sampai di depan rumah Pakde, terlihat Pakde sedang memberikan sesuatu pada penjual barang – barang bekas yang biasa lewat setiap harinya. Karena penasaran Gue menghampiri keduanya, dan Gue bener – bener terkejut dengan apa yang gue lihat, Pakde berniat menjual piala dan piagam – piagam hasil jerih payahnya mengikuti olimpiade karena tidak ada uang untuk membeli beras. Gue bener – bener miris melihat kejadian tersebut, namun Gue juga ga bisa bantu apa – apa karena Gue sendiri ga punya uang supaya bisa meminjamkannya kepada Pakde untuk membeli beras yang Ia butuhkan, Pakde sendiri menolak memakai uang kembalian pembelian hadiah tersebut karena bukan haknya.

Sehabis dari rumah Pakde, Gue menceritakan kejadian tersebut kepada temen – teman Gue yang kebetulan sedang nongkrong. Mereka yang mendengar sangat prihatin dengan kejadian tersebut namun mereka juga tidak bisa menolong. Apa daya, kami hanya bisa prihatin.

Akhirnya malam puncak memperingati dirgahayu bangsa Indonesia yang ditunggu – tunggu itu pun akhirnya tiba. Tampak masyarakat sudah berkumpul dilapangan bulu tangkis yang malam itu dipakai untuk acara. Mereka tampak antusias, hampir semuanya hadir dalam acara tersebut. Acara dimulai dengan pembukaan yang dipimpin oleh Pakde selaku ketua RT, lalu dilanjutkan dengan pentas seni dan penyerahan hadiah kepada para juara lomba.

Namun di akhir acara sebelum do’a penutup, teman Gue selaku MC memanggil kembali Pakde untuk naik kembali ke panggung. Dengan wajah heran Pakde kembali menaiki panggung, lalu Gue sebagai ketua acara juga naik ke panggung membawa piala dan piagam yang dijual Pakde kepada penjual barang – barang bekas kemarin dan menyerahkannya kembali kepada Pakde. Ya,, tanpa sepengetahuan Pakde teman – teman remaja dan masyarakat RT Gue membeli kembali piala dan piagam tersebut dari penjual barang bekas dengan memakai uang hasil patungan kembali dari masyarakat.

Terlihat Pakde sangat terharu bahkan menangis sambil menerima piala dan piagamnya kembali, Gue dan yang lain sangat puas bisa mengembalikan piala dan piagam Pakde. Tampak yang hadir di acara itu juga memberikan tepuk tangan yang meriah serta memberikan selamat kepada Pakde.

“Terimakasih banyak atas kesukarelaan para masyarakat untuk memberikan kembali piala dan piagam saya ini, Saya sangat senang dan tidak tahu harus membalas dengan apa”

Kata Pakde dengan bicara yang lirih dan terbata – bata sambil menangis.

“Ga apa – apa Pakde, Pakde sudah membalas itu semua dengan prestasi Pakde yang sudah membanggakan negeri ini, kami yang justru belum bisa membalas dengan membanggakan
negeri kami tercinta ini” Jawab gue sambil tersenyum menghibur Pakde.

Tahun itu memang perayaan 17’an yang ga akan pernah gue lupain. Pak Sarsono, pemimpin sejati dengan hidup sederhana namun semangat yang membara yang sudah membanggakan kami semua..
*end*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar